Raihan Ariatama

Refleksi 74 Tahun HMI: Reformasi Internal dan Meneguhkan Komitmen Keislaman-Keindonesiaan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on print

Pada 5 Februari 2021 ini, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) memperingati usianya yang ke-74. Sebagai sebuah organisasi mahasiswa Islam, mencapai usia 74 tahun bukanlah perkara mudah. Terdapat banyak lika-liku dan sepak terjang yang dilaluinya. Termasuk desakan pembubaran yang dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada masa Orde Lama, meskipun yang terjadi malah sebaliknya: PKI dibubarkan dan dianggap sebagai partai terlarang sampai saat ini, dan HMI masih eksis mewarnai perjalanan keberagaman Indonesia sampai hari ini. Di usianya yang ke-74 ini, HMI menghadapi berbagai persoalan. Dies Natalis HMI ke-74 ini harus kita jadikan momentum untuk merefleksikan berbagai persoalan tersebut sehingga bisa ditemukan formula yang tepat untuk mengatasinya.

Beberapa persoalan HMI hari ini adalah persoalan internal seperti dualisme kepengurusan, pendangkalan intelektualitas dan integritas serta lunturnya semangat berkarya. Persoalan-persoalan internal ini menuntut solusi yang pada satu sisi tetap berpedoman pada nilai-nilai ke-HMI-an dan pada sisi lain beradaptasi dengan perkembangan zaman. Kerja-kerja untuk mencari solusi ini merupakan kerja kolektif-kolaboratif yang melibatkan banyak elemen di HMI. Kerja kolektif-kolaboratif untuk menyelesaikan persoalan internal ini harus mengesampingkan ego golongan dan kepentingan kelompok. Apalagi, era Revolusi Industri 4.0 menuntut kita untuk saling berkolaborasi. Segala tantangan dan persoalan akan terasa lebih mudah apabila dihadapi dan diselesaikan secara kolaboratif.

Persoalan internal yang lain adalah perlunya melakukan pembaharuan terhadap materi/kurikulum pelatihan formal dan informal HMI agar dapat menjawab tantangan abad 21. HMI hari ini sedang berada dalam zaman digital, tetapi kultur ke-HMI-an kita masih menggunakan corak pemikiran abad 20, dan akhirnya yang terjadi adalah disrupsi dalam tubuh HMI. Untuk itu, pengembangan sumber daya kader HMI melalui pelatihan-pelatihan yang ada harus diorientasikan untuk menjawab berbagai tantangan di abad 21 ini. Sebagai contoh, HMI perlu menggalakkan social-entrepreneurship training untuk menghasilkan wirausahawan muda HMI yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan, melainkan juga pada kemaslahatan sosial-ekonomi ummat, dan pelatihan-pelatihan skill yang lain seperti manajemen big data, berpikir kritis, analitis, inovatif dan berorientasi pada problem solving serta lain sebagainya.

Dengan internal organisasi yang solid dan reformasi internal yang adaptif terhadap tantangan zaman, maka HMI akan dengan mudah menjalankan dakwah keislaman dan keindonesiaannya yang menjadi komitmen HMI sejak awal berdiri. Dalam konteks ini, misi dakwah dan sosial dapat dilakukan secara efektif apabila terjadi solidaritas dan reformasi internal.

Di tengah menguatnya ekstremisme agama yang kerap kali berujung pada tindakan kekerasan dan teror (acts of violence and terror) serta keinginan beberapa kalangan untuk melakukan formalisasi syariat Islam, dakwah keislaman dan keindonesiaan HMI sangatlah dibutuhkan. Hal ini karena komitmen keislaman dan keindonesiaan HMI tidak terjebak dalam formalitas dan simbol agama, melainkan berpijak pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai substansial Islam yang universal seperti Islam yang inklusif, yang toleran, yang dialogis, dan yang berperikemanusiaan.

Untuk itu, memperkuat dakwah keislaman dan keindonesiaan ala HMI merupakan sebuah keharusan sebagai upaya narasi tanding (counter-narration) terhadap diskursus ektremisme agama dan formalisasi syariat Islam. HMI dapat memanfaatkan teknologi informasi untuk melakukan narasi tanding tersebut. Apalagi, untuk melakukan misi yang mulia ini, HMI ditopang oleh sumber daya kader yang melimpah yang tersebar di berbagai pelosok Indonesia bahkan di luar negeri. Jaringan yang luas dan solid akan mempermudah dalam menebarkan benih-benih keislaman dan keindonesiaan.

Selain itu, keislaman dan keindonesiaan HMI tidaklah mempertentangkan agama dan negara. Keduanya harus saling melengkapi satu sama lain. Agama dibutuhkan sebagai fondasi nilai dalam bernegara, sedangkan negara dibutuhkan sebagai wahana untuk kemaslahatan publik dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, dakwah keislaman dan keindonesiaan HMI harus menjadi penetralisir terhadap gagasan atau upaya-upaya yang hendak mempertentangkan antara agama dan negara, termasuk diskursus yang menganggap aspirasi politik Islam sebagai politik untuk membentuk negara Islam. Padahal, aspirasi politik Islam adalah politik nilai bukan politik simbolik, seperti kesejahteraan rakyat, toleransi, perdamaian dan keharmonisan yang tidak bertentangan dengan demokrasi dan negara.

Akhir kata, Dies Natalis HMI ke-74 menjadi momentum bagi kita untuk melakukan reformasi organisasi demi memperkuat komitmen dan dakwah keislaman-keindonesiaan HMI. Dirgahayu HMI. Yakin Usaha Sampai!

Terbit di fnn.co.id pada 5 Februari 2021

RA.

admin@raihanariatama.id

2024 © Raihan Ariatama, All rights reserved