Hubungan agama dan negara adalah diskursus yang tidak pernah selesai dibicarakan, baik di negara-negara teokratis maupun sekuler, termasuk di Indonesia yang tidak termasuk ke dalam dua kutub tersebut. Merujuk pada The Encyclopedia of Religion, pada praktik kehidupan kenegaraan masa kini, hubungan antara agama dan negara dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk, yakni integrated (penyatuan antara agama dan negara), intersectional (persinggungan antara agama dan negara), dan secularistic (pemisahan antara agama dan negara). Secara kultural dalam anggapan banyak orang modern sekarang ini, model hubungan agama dan negara yang paling ideal adalah model sekularistik, karena dianggap model yang paling mungkin untuk menjamin kebebasan beragama, bahkan termasuk kebebasan untuk tidak beragama.
Pandangan bahwa model sekularistik adalah model hubungan agama dan negara yang paling ideal diperkuat dengan banyaknya tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama seperti yang baru-baru ini terjadi di India dan kelompok ekstremis bersenjata IS (Islamic State) di Irak dan Suriah beberapa tahun belakangan. Tapi, model sekularistik bukan tanpa kritik. Pertama, fakta bahwa model sekularistik sangat bias Barat (Western bias) karena sangat didasarkan pada pengalaman peradaban Barat pada abad kegelapan, di mana institusi keagamaan sangat mengekang hak dan kebebasan masyarakat pada waktu itu. Kedua, terjadinya desekulerisasi secara global.
Menurut Masykuri Abdillah (2013), sosiolog terkemuka Peter L. Berger pada akhir dasawarsa 1990-an menolak teori “secularization” dan sebaliknya mengemukakan teori “desecularization of the world”. Hal ini terjadi karena dalam kenyataannya, proses sekularisasi menimbulkan reaksi dalam bentuk gerakan-gerakan tandingan sekularisasi yang kuat (powerful movements of counter-secularization). Teori tersebut merupakan revisi terhadap teorinya sendiri tentang sekularisasi yang ia kemukakan pada akhir dasawarsa 1960-an.
Pada dasarnya, lanjut Masykuri Abdillah (2013), konsep sistem ketatanegaraan dan realitas yang terjadi di Indonesia sejak masa kemerdekaan hingga saat ini berlaku model intersectional, di mana terdapat persinggungan antara agama dan negara. Hal ini berarti hubungan agama dan negara di Indonesia tidak sepenuhnya terintegrasi dan tidak pula sepenuhnya terpisah. Dalam hubungan semacam ini, terdapat aspek-aspek keagamaan yang masuk dalam negara dan terdapat pula aspek-aspek kenegaraan yang masuk dalam atau memerlukan legitimasi agama. Negara Indonesia adalah negara yang secara kelembagaan berbentuk sekuler, tetapi secara filosofis mengakui eksistensi agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan agama sebagai dasar negara secara eksplisit disebutkan dalam pasal 29 ayat 1, yakni “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sayangnya, model intersectional di Indonesia ini pada praktiknya masih belum maksimal. Salah satu buktinya adalah seringnya kita mendengar berita-berita negatif yang menyangkut relasi agama dan negara di Indonesia, seperti perusakan rumah ibadah, sulitnya mendapatkan izin beribadah bagi agama minoritas, persekusi pada mereka yang dianggap berbeda, sampai pemberian cap “radikal” hanya karena cara berpakaian yang didasari keyakinan tertentu. Menyikapi hal tersebut, penulis menganggap bahwa perlu adanya peningkatan kualitas implementasi model intersectional di Indonesia,yang secara konsensus berbangsa dan bernegara terwujud dalam Pancasila.
Dilihat dari perspektif kelembagaan politik, ada dua hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kualitas model intersectional di Indonesia. Pertama, harus ada pembagian yang jelas namun tetap saling melengkapi (komplementer) antara lembaga formal (negara) dengan lembaga informal (agama). Ketika terjadi kekosongan-kekosongan yang ditinggalkan oleh lembaga formal dalam mengatasi masalah, pada saat yang bersamaan lembaga informal hadir sebagai pelengkap. Misalnya, ketika negara belum mampu menyediakan fasilitas pendidikan di suatu daerah, maka lembaga keagamaan dapat menyediakan layanan tersebut untuk masyarakat. Sebaliknya, ketika terdapat masalah antar pemeluk agama, maka negara secara formal harus mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan tetap menjamin terpenuhinya hak beragama mereka.
Kedua, perlu dimunculkan pola akomodatif antara lembaga formal (negara) dengan lembaga informal (agama). Sebagai contoh, dalam pembuatan peraturan, lembaga keagamaan dapat membuat peraturan sendiri yang tidak bertentangan dengan aturan-aturan formal, sehingga tidak semua hal yang berkaitan dengan praktik beragama perlu diatur secara formal oleh negara. Selain itu, negara dapat mengakomodasi lembaga keagamaan dengan mengadopsi nilai dan norma universal yang ada pada lembaga keagamaan ke dalam peraturan formal. Misalnya, semua agama melarang adanya pemerkosaan, maka negara mengadopsi nilai tersebut dan membuat peraturan yang melindungi setiap warga negara dari pemerkosaan.
Kedua hal tersebut yang penulis kira dapat membawa hubungan agama dan negara di Indonesia ke arah yang lebih baik di masa depan.
Terbit di timesindonesia.co.id pada 24 Februari 2021