Pendahuluan
Perjalanan bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah perjuangan dan pergerakan mahasiswa. Perjuangan mahasiswa menubuh dalam nadi sejarah bangsa Indonesia. Sejak perjuangan kemerdekaan sampai hari ini, mahasiswa menjadi lokomotif penggerak perubahan di republik ini. Mahasiswa menjadi man of history pada setiap masa yang selalu meresonansikan kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan demi Indonesia yang lebih baik. Tak dapat dipungkiri, berbagai momentun sejarah bangsa ini diciptakan oleh mahasiswa yang bergerak dan berjuang.
Idealisme mahasiswa ini adalah tanggung jawab moral mahasiswa sebagai generasi terdidik, yang tidak hanya menjadi intelektual menara gading (ivory tower intellectuals), tetapi menjadi intelektual progresif yang berpegang teguh pada nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan dengan melakukan kerja-kerja advokasi demi terpenuhinya rasa keadilan rakyat. Tanggung jawab kebangsaan ini menjadi ruh perjuangan dan pergerakan mahasiswa.
Sebagai organisasi mahasiswa muslim yang lahir, tumbuh dan berkembang di Indonesia, HMI mengemban tanggung jawab besar: tanggung jawab kebangsaan sekaligus tanggung jawab keumatan. Dua tanggung jawab ini mengalir dalam setiap derap-langkah perjuangan dan pergerakan HMI. Bahkan sejak awal berdirinya, HMI sadar akan peran dan tanggung jawabnya dengan menempatkan semangat keindonesiaan dan keislamaan sebagai dua hal yang tidak saling bertentangan, tetapi saling mendukung-menopang-menyokong satu sama lain.
Dengan kata lain, HMI menganggap persoalan kebangsaan merupakan persoalan keumatan juga dan begitupun sebaliknya: persoalan keumatan berarti persoalan kebangsaan. Pada persoalan keumatan dan kebangsaan yang terjadi di Indonesia, HMI harus menjadi solusi demi menggapai Indonesia yang lebih baik dari masa ke masa.
Kondisi Kebangsaan Kita
Akhir-akhir ini, kita mengalami dua persoalan besar sebagai bangsa, yakni: pertama, ketimpangan ekonomi yang berdampak pada ketimpangan sosial, dan kedua, eksploitasi besar-besaran terhadap identitas agama untuk kepentingan politik praktis. Kedua persoalan ini tidak berdiri sendiri, melainkan berkait-kelindan satu sama lain, dan keduanya dapat berimplikasi pada kemungkinan terjadinya disintegrasi bangsa di masa mendatang.
Kita semua tahu bahwa sebagian kecil orang di Indonesia menguasai sebagian besar kekayaan di republik ini. Ketimpangan ekonomi jelas-jelas tampak di depan mata dan berakibat pada ‘yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin’. Tentunya, kondisi ini bukanlah kondisi ideal dan jauh dari cita-cita para pendiri bangsa yang menginginkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia –sebagaimana termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.
Distribusi ekonomi yang tidak adil ini kerap kali menyulut kemarahan rakyat yang kemudian dilampiaskan dengan mengkambinghitamkan golongan tertentu, sehingga persoalan ekonomi tersamarkan menjadi seakan-akan persoalan identitas. Kondisi yang tidak ideal ini mendesak untuk ditemukan jalan keluarnya. Demokrasi politik haruslah disertai dengan demokrasi ekonomi. Tantangan bangsa Indonesia ke depannya bukanlah perbedaan pendapat, melainkan perbedaan pendapatan antar warga negara.
Semua elemen bangsa harus berembuk demi mencari solusi atas permasalahan yang mengancam kebhinekaan ini. HMI, sebagai bagian dari elemen bangsa, harus ambil bagian dengan menjadi problem solver untuk meminimalisir gap ketimpangan sosial-ekonomi antar warga negara, sebagaimana telah diamanatkan oleh NDP HMI Bab VI Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi.
Dalam konteks diskursus saat ini, digitalisasi di segala sektor kehidupan berbangsa dan bernegara adalah sebuah keniscayaan, sebuah fakta yang tidak dapat dielakkan, dan HMI harus mampu memanfaatkan fenomena ini dengan melakukan proyeksi secara terus-menerus demi menemukan solusi atas persoalan kebangsaan, terutama di sektor ekonomi. Dengan metodologi perkaderan yang terstruktur dan jejaring kuat yang meluas dari Sabang sampai Merauke, HMI memiliki modal dan peran strategis untuk melakukan agenda-agenda progresif demi kontribusi pada Indonesia yang lebih baik.
Kondisi Keumatan Kita
Umat Islam Indonesia hari ini sedang menghadapi persoalan ekstremisme agama yang berujung pada tindakan kekerasan dan teror (acts of violence and terror) dan politisasi agama untuk kepentingan politik praktis yang berdampak pada menguatnya polarisasi identitas di tingkatan akar rumput. Tindakan teror atas nama agama dan politisasi agama untuk politik kekuasaan ini mendangkalkan ajaran-ajaran Islam yang secara substansial menyerukan harmoni dan perdamaian.
Kita menyaksikan bagaimana fenomena ekstremisme agama yang diekspresikan lewat tindakan kekerasan dan teror ini telah mencoreng citra Islam dan melukai rasa keadilan dan kemanusiaan kita. Tentunya, tindakan teror atas nama apapun tidak dibenarkan, karena kita diikat oleh perasaan bersama sebagai sesama manusia. Persaudaraan kemanusiaan haruslah melampaui sekat-sekat perbedaan, baik itu perbedaan agama, ras, suku bangsa dan lain sebagainya. Dan persaudaraan kemanusiaan ini merupakan ajaran Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin.
Ekstremisme agama tersebut kerap kali dilandaskan pada sikap takfiri –sikap menyesatkan dan mengkafirkan orang/golongan yang berbeda dengan golongannya. Sikap takfiri ini tidak terbatas pada non-muslim, tetapi juga pada sesama muslim yang berbeda paham, bahkan berbeda pilihan politik dengannya. Sehingga, implikasinya, ruang sosial diisi dengan saling membenci yang bersifat kontraproduktif terhadap keberislaman dan keindonesiaan kita.
Di samping itu, politisasi agama untuk kepentingan politik kekuasaan turut berkontribusi pada polarisasi berbasis agama di masyarakat, yang secara tidak langsung juga menguatkan ekstremisme agama. Akibat politisasi agama, visi politik Islam menjadi sekadar massa dan angka yang kemudian dikomodifikasi menjadi suara (vote) dalam kontestasi politik elektoral. Tentunya, visi politik Islam tidaklah demikian; visi politik Islam adalah politik nilai.
Menolak politisasi agama untuk kepentingan politik praktis bukan berarti menyangkal visi politik dalam Islam. Sebagai agama yang komprehensif, Islam mengajarkan politik kebangsaan yang berlandaskan pada nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kemanusiaan, bukan berlandaskan pada menang-kalah semata.
Atas fenomena keumatan tersebut, HMI sebagai kader umat dan bangsa memiliki tanggung jawab etis untuk memajukan pemikiran keislaman yang ramah pada perbedaan dengan berlandaskan pada nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kemanusiaan. Dalam konteks ini, HMI harus mengisi ruang publik Indonesia dengan pemikiran keislaman-keindonesiaan dan visi politik Islam yang sarat akan nilai-nilai (values).
Visi Keislaman dan Keindonesiaan sebagai ‘Proyek Bersama’ (Common Project)
Permasalahan adalah hal yang niscaya dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Dengan persoalan, kemajuan peradaban ke arah yang lebih baik menjadi mungkin. Untuk itu, tugas kita adalah menghadapi persoalan tersebut dengan memberikan solusi dan kontribusi demi Indonesia yang lebih baik. Di tengah fenomena digitalisasi di semua sektor kehidupan, tantangan keislaman dan keindonesiaan di masa depan menjadi semakin kompleks.
Di tangan kita HMI sebagai generasi penerus dan penggerak perubahan, masa depan keislaman dan keindonesiaan ditentukan. Melihat fenomena keumatan dan kebangsaan yang telah disebutkan di atas, maka perlu kiranya mengikat visi keislaman dan keindonesiaan sebagai visi bersama, bukan visi golongan tertentu. Karena Indonesia dibangun di atas perbedaan. Oleh karena itu, upaya untuk menyeragamkan heterogenitas harus kita tolak dan lawan.
Visi keislaman dan keindonesiaan harus menjadi ‘proyek bersama’ (common project), bukan sekadar ‘warisan bersama’, di mana semua orang dan golongan terlibat di dalamnya tanpa terkecuali. ‘Proyek bersama’ mengandaikan perubahan yang dinamis sesuai dengan konteks dan tantangan zaman, yang berbeda dengan ‘warisan bersama’ yang cenderung statis. Dengan menjadikan visi keislaman dan keindonesiaan sebagai ‘proyek bersama’, maka ruang sosial Indonesia akan berisi perdebatan-perdebatan yang bersifat solutif dan kontributif terhadap Indonesia yang lebih baik di masa mendatang. Dengan demikian, Indonesia diikat oleh ‘visi masa depan’ yang disongsong secara bersama-sama.