Raihan Ariatama

Indonesia Darurat Kekerasan Seksual

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on print

Disampaikan oleh Ketua Umum PB HMI Raihan Ariatama dalam Dialog Awal Tahun: Indonesia Darurat Kekerasan Seksual yang diselenggarakan oleh Kohati PB HMI pada Kamis, 06 Januari 2022

Akhir-akhir ini, pemberitaan mengenai kekerasan seksual marak diperbincangkan oleh masyarakat, diawali dengan terbitnya Permendikbud Nomor 30/2021 yang mengatur pencegahan kekerasan dan kejahatan seksual di lingkungan perguruan tinggi.

Bahkan, kekerasan seksual mendapat perhatian khusus dari Presiden Joko Widodo. Presiden menyampaikan instruksinya agar Kemenkumham bersama dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dapat segera merumuskan dan berkoordinasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI agar RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dapat segera dijadikan produk undang-undang. Dalam kesempatan lain, Kepolisian Republik Indonesia juga membentuk direktorat baru yang khusus menangani kasus perempuan dan anak.

Hal tersebut menandakan bahwa Indonesia sedang berada dalam darurat kekerasan seksual. Harus diakui bahwa praktik kekerasan seksual tidak hanya terjadi di tempat-tempat umum seperti hotel, mall, pasar, tetapi juga di lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah, perguruan tinggi, bahkan pesantren.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat sebanyak 37 kasus kekerasan terhadap anak terjadi di lingkungan Pondok Pesantren. Sebagian besar dari kasus tersebut merupakan kekerasan seksual. Sebuah kondisi yang memprihatinkan.

Survei Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) tahun 2019 terkait pelecehan seksual di ruang publik, menemukan bahwa lingkungan sekolah dan kampus menduduki urutan ketiga lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual dengan angka 15%, jalanan 33% dan transportasi umum 19%.

Laporan Komnas Perempuan tahun 2020 mengenai kekerasan seksual menunjukkan bahwa terdapat 27% aduan kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi dalam rentang waktu 2015-2020. Melihat kondisi yang sangat memprihatinkan tersebut, bagaimana Islam memandang persoalan kekerasan seksual?

Dalam terminologi bahasa Arab kontemporer, kekerasan seksual dikenal dengan istilah “al-taharrusy al-jinsîy”. Secara etimologi, al-taharrusy bermakna mengelorakan permusuhan (at-tahyîj), berbuat kerusakan (al-ifsâd), dan menimbulkan kerusakan, kebencian dan permusuhan (al-igra’). Sedangkan secara terminologi adalah setiap ungkapan dan tindakan seksual yang digunakan untuk menyerang dan mengganggu pihak lain.

Al-Qur`an melarang pelecehan seksual baik fisik maupun non fisik. Al-Qur`an menyebut pelecehan seksual baik fisik maupun non fisik sebagai “al-rafats” dan “al- fakhisyah”. Menurut para mufassir, al-rafats adalah “al-ifhâsy li al-mar’ah fi al-kalâm” atau ungkapan-ungkapan keji terhadap perempuan yang menjerus kepada seksualitas.

Al-Qur`an secara jelas mencatat sejarah buram kekerasan terhadap perempuan, termasuk di dalamnya kekerasan seksual. Beberapa model model perkawinan Jahiliyah yang eksploitatif terhadap tubuh perempuan, seperti nikah al-shighar, nikah al-rahthi, nikah al-istibdha’, nikah al-badal, nikah mut’ah dan sejenisnya, telah dihapuskan oleh Islam, kemudian diganti dengan relasi perkawinan yang setara dan adil

Islam berupaya menghapuskan segala bentuk relasi seksual yang eksploitatif sebagai warisan budaya patriarki yang mengakar dalam sejarah kemanusiaan. Allah berfirman,

Janganlah kalian paksa budak-budak perempuanmu untuk melacurkan diri, ketika mereka sendiri telah menginginkan kesucian dirinya, hanya karena engkau menginginkan kekayaan dunia. Barangsiapa yang dulu pernah memaksanya, maka Allah maha pemaaf dan pengampun [bagi budak-budak perempuan itu],” [QS. al-Nur: 33].

QS. al-Nur: 33 tersebut mengisahkan perjuangan budak-budak perempuan untuk meloloskan diri dari eksploitasi dan perbudakan seksual yang dilakukan oleh tuan-tuan atas dasar relasi kuasa. Adalah Mu’adah dan Musaikah, dua budak perempuan, yang melakukan perlawanan terhadap eksploitasi dan perbudakan seksual yang dilakukan oleh tuannya. Perjuangan dua budak perempuan ini bukan hanya diabadikan di dalam al-Qur`an, tetapi juga mendapatkan dukungan.

Perbudakan terhadap perempuan biasanya disusul dengan berbagai kekerasan termasuk kekerasan seksual. Perempuan yang diperbudak akan mengalami lapisan-lapisan kekerasan, mulai dari kekerasan fisik, psikis, dan kekerasan seksual.

Oleh karenanya, QS. al-Nur: 33 tersebut, selain mengingatkan pentingnya penghapusan perbudakan, juga menegaskan kewajiban penghapusan eksploitasi dan perbudakan seksual serta pada akhirnya melakukan pemulihan terhadap korban. Di dalam al-Qur`an dan hadits Nabi juga menyebut berbagai bentuk kekerasan seksual seperti penghukuman seksual (qadzfu al-muhshanât), pemaksaan perkawinan (al-ikrâh ala al-nikâh), pemaksaan pemerkosaan (al-ikrâh bi al-wath’i atau al-ikrâh bi al- zinâ) dan bentuk kekerasan lainnya.

Perhatian al-Qur`an terhadap berbagai bentuk kekerasan seksual menjadi pembelajaran yang sangat kuat bahwa segala bentuk kekerasan seksual secara nyata telah merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan yang harus segera diakhiri dan dihapuskan. Karenanya, Islam menolak keras segala bentuk kekerasan, pelecehan, dan penghinaan terhadap sesama.

Pentingnya penanganan dan penghapusan terhadap kekerasan seksual juga menjadi perhatian khusus dari Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia dan Jaringan Masyarakat Peduli Darurat Kekerasan Seksual. Mereka menimbang beberapa hal yakni:

  • Fakta bahwa tindakan kekerasan seksual secara terus – menerus terjadi di Indonesia, di hampir seluruh wilayah Indonesia, dengan berbagai usia korban, dan dilakukan oleh pelaku tanpa memandang latar belakang pendidikan, keagamaan, usia, maupun lainya, dan terjadi tanpa memandang tempat, baik rumah, asrama, tempat kerja, lembaga pendidikan, jalan, maupun tempat lainnya;
  • Fakta bahwa para korban yang terus berjatuhan tidak memperoleh perlindungan yang cukup dan pendampingan yang memadai, mereka selalu disalahkan dan disudutkan dalam berbagai jenjang; sejak berhadapan dengan pelaku, keluarga yang menganggapnya aib, lalu ketika peristiwanya dilaporkan ke aparat yang justru menyalahkan perilaku dan pakaian korban, tidak semuanya memperoleh pendampingan dan acapkali diselesaikan secara kekeluargaan, bahkan masyarakat yang masih sering menormalisasi praktik- praktik kekerasan;
  • Upaya korban mencari keadilan dan memperoleh pemulihan juga terhambat karena peraturan perundangan-undangan yang ada belum mengenali persoalan kekerasan seksual secara menyeluruh dan bahkan ada yang justru potensial digunakan untuk mengkriminalkan korban, dan fasilitas dan kapasitas layanan pendampingan bagi korban belum tersedia secara memadai di banyak wilayah.
  • Dampak buruk, trauma berat, dan bahaya besar, baik secara fisik, psikis, maupun sosial pada korban bisa berlangsung seumur hidup mereka, sedangkan pelaku dapat melenggang lolos dari hukuman setimpal, dan jika pun telah menjalani hukuman tidak ada tindakan korektif apa pun pada pelaku, sehingga potensial mengulang perbuatannya itu dan korban terus bertambah dan berjatuhan;
  • Bahaya pembiaran tindak pidana kekerasan seksual pada kualitas bangsa sebagai individu, baik pelaku maupun korban, yang mengancam jiwa manusia terutama perempuan dan anak yang paling rentan, merusak kesakralan lembaga perkawinan, keutuhan dan ketahanan keluarga, keberdayaan masyarakat, maupun keutuhan bangsa, serta kehidupan manusia pada umumnya;

Di samping itu, Hasil Musyawarah Keagamaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Pondok Jambu Cirebon pada tahun 2017 yang menyatakan bahwa tindakan kekerasan seksual, baik di dalam maupun di luar perkawinan, adalah haram.

RA.

admin@raihanariatama.id

2024 © Raihan Ariatama, All rights reserved