Raihan Ariatama

HMI Kini dan Nanti: Refleksi Dies Natalis Ke-73 HMI

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on print

Seorang pemuda berdiri di depan kelas untuk memimpin rapat dan lantas berkata: “Hari ini adalah rapat pembentukan organisasi Mahasiswa Islam, karena semua persiapan yang diperlukan sudah beres”. Seorang pemuda itu adalah Lafran Pane, yang kelak dikenal sebagai pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan pahlawan nasional, dan kelas yang digunakan untuk rapat pendirian HMI adalah salah satu ruangan kuliah Sekolah Tinggi Islam di Yogyakarta. Itu terjadi pada 5 Februari 1947 pada saat jam kuliah tafsir yang diampu oleh Husein Yahya.

Hari ini, 5 Februari 2020, himpunan kita tercinta merayakan dies natalis-nya yang ke-73. Bagi organisasi mahasiswa, menapaki usia ke-73 adalah sebuah pencapaian gemilang. Tidak hanya usianya saja yang semakin hari semakin ‘besar’, tetapi juga organisasinya; jumlah kader bertambah, jumlah cabang dan komisariat bertambah menggapai pelosok negeri, dan para alumninya berkiprah di pelbagai lapisan masyarakat di negeri ini.

Dalam menapaki usianya yang ke-73, HMI telah merasakan banyak fase yang seturut dengan sejarah perjalanan negara ini. Telah banyak pujian dan kritik terhadap organisasi ini yang turut membentuk dan mengubah dinamika di dalamnya. Karena kita, kader HMI, percaya bahwa perubahan adalah sebuah keniscayaan bagi organisasi ini. Tentu saja perubahan ke arah yang lebih baik.

Perubahan tersebut tentunya harus sesuai dengan semangat, Mission, dan nilai-nilai HMI serta konteks zaman. Hari ini, di dies natalis yang ke-73, kita harus berefleksi; bagaimana himpunan kini dan apa yang seharusnya dilakukan himpunan untuk menyosong hari depan?

Ambil Bagian dalam Solusi atas Persoalan Umat

Nahdlatul Ulama’ ‘punya’ Islam Nusantara, Muhammadiyah ‘punya’ Islam Berkemajuan, lalu HMI ‘punya’ apa? Harus diakui, HMI hari ini sibuk dengan konflik internal yang tidak produktif terhadap kemajuan organisasi. Dies Natalis ke-73 HMI ini harus menjadi momen evaluasi dan refleksi diri untuk menyudahi segala bentuk konflik internal yang kontra-produktif terhadap keberlangsungan dan kemajuan organisasi. Untuk itu, politik HMI haruslah politik yang mengedepankan kedewasaan dan keberlanjutan organisasi, sehingga melampaui politik partisan. Dalam berpolitik, HMI haruslah berpegang teguh pada nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan, bukan pada kepentingan golongan.

Itulah politik kebangsaan ala HMI yang sejati. Dengan begitu, kita akan fokus pada kontribusi terhadap persoalan umat dan bangsa. Saat ini, kita dihadapkan dengan persoalan konsumerisme Islam, Islam simbolik, dan politik identitas yang mengeksploitasi agama untuk kepentingan politik praktis sesaat. Sebagai organisasi yang memiliki komitmen keislaman dan keindonesiaan, HMI harus ambil bagian menghalau persoalan-persoalan tersebut dengan diskursus keislaman-keindonesiaan khas HMI.

Di Dies Natalis ke-73 ini, HMI tidak boleh terjebak pada konsumerisme Islam, simbolisasi Islam, dan politik identitas yang kontraproduktif terhadap nilai keislaman-keindonesiaan. Dengan sumber daya manusia yang tersebar di pelbagai penjuru Indonesia, HMI bisa menjadi garda terdepan merebut diskursus keislaman di ruang publik dengan wacana moderasi beragama yang humanis dan progresif.

Sebagai contoh, kita bisa mengisi ruang dunia maya dan media sosial dengan muatan pemikiran keberagamaan yang moderat, progresif, dan humanis. Bisa dibayangkan, apabila setiap kader dan alumni mem-posting konten pemikiran Islam yang moderat, progresif, dan humanis, maka akan lebih banyak orang mengetahui dan akan terpengaruh dengan konten tersebut. Inilah literasi digital yang bisa dilakukan oleh HMI saat ini dan ke depannya untuk memasyarakatkan pemikiran Islam yang moderat, progresif, dan humanis.

Tidak terbatas pada literasi digital, HMI harus memanfaatkan instrumen perkaderan dengan muatan pemikiran Islam yang moderat, progresif, dan humanis serta strategi untuk mencapainnya. Muatan ini dapat menjadi materi dalam pelbagai jenjang perkaderan HMI, baik formal maupun non-formal. Selain instrumen perkaderan, kelas dan training pemikiran Islam perlu dimasifkan, mulai dari tataran komisariat, cabang, badko hingga pengurus besar.

Di samping diskursus pemikiran Islam, HMI haruslah menjadi bagian dari solusi atas persoalan ekonomi ummat. Jelasnya, HMI harus memiliki keperpihakan kepada umat yang terpinggirkan-termarjinalkan –mustadl’afin. Salah satu langkahnya adalah dengan memasifkan unit usaha di masing-masing tingkatan struktural HMI. Jika hal ini terjadi secara masif dan meluas, maka tidak hanya organisasi dan kader yang dapat mandiri secara ekonomi, melainkan juga ekonomi umat yang terperdaya, yang tentunya berkontribusi terhadap peningkatan ekonomi bangsa dan negara. Untuk itu, Dies Natalis ke-73 HMI adalah momen yang tepat untuk evaluasi, refleksi, dan pembenahan organisasi ini demi keberlangsugan dan kemajuan HMI. Yang kita pikirkan dan lakukan kini untuk himpunan ini menentukan HMI nanti. Perlu kerja sama dan kolaborasi dari semua elemen HMI untuk membenahi dan memajukan himpunan tercinta ini. Mari bersama-sama membenahi dan memajukan himpunan hijau hitam ini.

RA.

admin@raihanariatama.id

2024 © Raihan Ariatama, All rights reserved