Sebagai sebuah organisasi yang mendaku dirinya sebagai sebuah gerakan intelektual, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), bisa dibilang jarang (untuk tidak mengatakan tidak pernah) memproduksi “pengetahuan”. Pasca generasi Nurcholish Madjid (Cak Nur) belum pernah muncul lagi gagasan-gagasan pembaruan Islam dalam sejarah HMI sampai sekarang. Ironis memang, tapi itulah kenyataan. Kita bisa saksikan dalam diskursus atau wacana pemikiran Islam hari-hari ini bahwa HMI praktis absen dalam menghasilkan pemikiran sementara Nahdlatul Ulama berhasil memproduksi wacana tentang “Islam Nusantara” dan Muhammadiyah gencar mempromosikan “Islam Berkemajuan”.
Di sisi lain, gencarnya intervensi dari “Pasar” dalam arus pemikiran Islam di Indonesia menghasilkan gagasan-gagasan serba “Pop’ dan “Instan” seperti “Modis Syar’i”, “Cepat Kaya ala Islam”, atau mempromosikan poligami yang pada praktiknya gagasan-gagasan tersebut hanya menyentuh aspek konsumtif individual dari umat Muslim di Indonesia tanpa memperhatikan aspek atau dimensi sosial pembebasan dari ketertindasan kelompok-kelompok marginal. HMI pun bisa dibilang absen dalam memberikan narasi tandingan pada pemikiran-pemikiran seperti itu.
Selain itu, jika dilihat dari aktivitas kader-kader HMI di kampus-kampus, masih sedikit diantara mereka yang terlibat dalam kegiatan produksi pengetahuan seperti penelitian, penulisan artikel jurnal ilmiah, penulisan opini di media massa daring maupun luring, dan menjadi pengisi acara-acara diskusi di luar acara yang diadakan HMI sendiri. Kesimpulannya, kalau HMI masih ingin mendaku dirinya sebagai organisasi pergerakan intelektual maka memproduksi pengetahuan menjadi sebuah kewajiban yang harus benar-benar dilakukan.