Raihan Ariatama

Covid-19, Nilai Tukar Rupiah dan Stabilitas Ekonomi Indonesia

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on print

Dalam beberapa hari terakhir, Rupiah kian mengalami pelemahan dan IHSG mengalami tekanan yang luar biasa. Setidaknya Rupiah melemah pada kisaran + 4,53% dan IHSG tertekan hingga + 5,2%. Pelemahan Rupiah yang makin cepat dikarenakan virus corona menjadi katalisator negatif terhadap aset-aset yang berisiko, khususnya sektor finansial. Karena tingginya risiko ini, maka preferensi pasar tertuju pada Dolar Amerika Serikat sebagai safe-haven asset di tengah ketidakpastian global, dan akhirnya Rupiah makin terjun bebas.

Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah apa dampak dari pelemahan Rupiah yang terjadi terus menerus seperti ini. Hal pertama yang perlu dipahami bersama adalah dari total impor non-migas Indonesia, barang modal memiliki porsi yang relatif signifikan. Melemahnya Rupiah akan berimplikasi pada volume barang modal impor, sehingga akan meningkatkan defisit perdagangan dikarenakan Indonesia membayar lebih mahal untuk transaksi berikutnya.

Hal yang kedua adalah terjadi peningkatan yang signifikan pada impor barang konsumsi pada awal 2020 karena tingginya permintaan domestik, sehingga pelemahan Rupiah akan memberikan dampak yang signifikan pada perlambatan ekonomi secara gradual. Upaya untuk menjaga stabilitas Rupiah telah dilakukan oleh Bank Indonesia dengan membeli Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp. 195 triliun dan mendorong stabilitas harga saham. Tetapi, upaya Bank Indonesia ini tidaklah cukup karena preferensi pasar yang justru membuat Rupiah kian melemah.  

Melambatnya perekonomian adalah sebuah keniscayaan di tengah kondisi resesi — sebagaimana telah diprediksi oleh Kementerian Keuangan bahwa ekonomi Indonesia berpotensi tumbuh melambat pada kisaran 4,7% sepanjang tahun 2020–  dan ancaman wabah Covid-19. Kebijakan yang tepat dapat memitigasi dampak negatif agar perekonomian dapat stabil di tengah gejolak yang sedang terjadi.

Dalam situasi Rupiah yang semakin melemah, maka dibutuhkan respon secara cepat dan tepat dari pemerintah maupun bank sentral. Terdapat dua pilihan kebijakan moneter yang dapat dilakukan. Pertama dengan menaikkan suku bunga. Kebijakan ini memiliki dampak positif maupun negatif. Dampak positifnya adalah adanya peluang untuk melakukan ekspor besar-besaran agar mendapatkan profit yang besar dalam situasi kurs rupiah melemah dan meningkatkan potensi capital inflow yang akan menguatkan nilai Rupiah. Sedangkan dampak negatifnya adalah tingginya biaya kredit investasi dan kredit modal kerja (cost of debt) yang akan mengganggu produktifitas domestik. Sehingga timing dari kebijakan suku bunga sangat penting dan dapat dilakukan secara paralel saat pemerintah akhirnya memutuskan untuk melakukan lockdown dalam penanganan wabah Covid-19.

Pilihan kebijakan moneter yang kedua adalah menurunkan suku bunga seperti yang yang sedang dilakukan oleh Bank Indonesia saat ini, di mana bunga 7-days repo rate sudah diturunkan menjadi 4,5% dari yang sebelumnya adalah 4,75% atau setara 25 bps dengan tujuan memberikan stimulus. Yang perlu menjadi catatan adalah kebijakan ini tidak dibarengi dengan “guidance” yang jelas berkenaan dengan apa yang harus dilakukan setelahnya.

Bank Indonesia berani menurunkan suku bunga di tengah pelemahan Rupiah adalah karena pada Februari 2020 lalu Indonesia mengalami surplus, sehingga Current Account Balance hingga Maret dan April ini harus tetap terpantau kinerjanya. Karena jika timing-nya tidak pas, maka Rupiah akan semakin melemah dikarenakan besarnya capital outflow sebagai akibat rendahnya yield, yang dampak akhirnya berupa pelemahan ekonomi secara eksponensial.

Kebijakan moneter tentunya tidaklah cukup jika menghendaki stabilitas ekonomi yang berorientasi jangka panjang. Diperlukan kebijakan fiskal sebagai prioritas yang benar-benar dapat menjaga kinerja perekonomian. Stimulus melalui tanggungan PPh 21 misalnya dinilai tidak akan efektif dikarenakan orang membatasi aktivitas luar rumahnya. Pembelian secara online pun akan bergantung pada aktivitas luar karena berkenaan dengan logistik. Dengan demikian, alokasi fiskal sebaiknya lebih terfokus pada kesehatan (penanganan pandemi Covid-19), re-alokasi belanja yang lebih prioritas, dan bantuan langsung tunai maupun non-tunai (termasuk pangan) kepada masyarakat menengah ke bawah. Dengan cara seperti ini, pemerintah berarti sedang menjaga keberlangsungan sumber daya manusia yang merupakan faktor kunci dalam stabilitas ekonomi sebuah negara.

Di sisi lain, pemerintah sebaiknya berupaya secara terus-menerus meningkatkan kepercayaan publik dengan kebijakan-kebijakan yang tepat dan tegas supaya investor kembali memiliki kepercayaan untuk berinvestasi di Indonesia. Penanganan Covid-19 secara serius dan meyakinkan adalah kunci untuk merebut perhatian dan kepercayaan publik. Kebijakan sosial distancing telah dilakukan, meskipun sejauh ini belum maksimal. Untuk itu, dibutuhkan kebijakan-kebijakan yang lebih serius seperti mengeluarkan kebijakan lockdown untuk daerah-daerah yang tingkat keterpaparan Covid-19 tinggi dan melakukan intensifikasi pengecekan massal.

Melambatnya perekonomian adalah sebuah keniscayaan di tengah kondisi resesi — sebagaimana telah diprediksi oleh Kementerian Keuangan bahwa ekonomi Indonesia berpotensi tumbuh melambat pada kisaran 4,7% sepanjang tahun 2020–  dan ancaman wabah Covid-19. Kebijakan yang tepat dapat memitigasi dampak negatif agar perekonomian dapat stabil di tengah gejolak yang sedang terjadi.

Tulisan ini pernah dipublikasikan di timesindonesia.co.id dan dalam versi yang cukup berbeda diterbitkan di mudanews.comDipublikasikan di blog ini untuk tujuan arsip.

RA.

admin@raihanariatama.id

2024 © Raihan Ariatama, All rights reserved