Bagaimana dunia Islam terlibat dan turut berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan sejauh mana keterlibatan dan kotribusi tersebut? Bagaimanapun juga harus diakui bahwa dalam aspek ilmu pengetahuan dan teknologi, dunia Islam saat ini masih ketinggalan jauh dengan dunia belahan yang lain seperti Amerika, Eropa, Tiongkok dan lain sebagainya. Hal ini ditegaskan oleh Cak Nur –sapaan akrab Nurcholis Madjid— bahwa “di antara semua penganut agama besar di muka bumi ini, para pemeluk Islam adalah yang paling rendah dan lemah dalam hal sains dan teknologi.”[1]
Padahal, menurut Cak Nur, dunia Islam memiliki fondasi historis yang kuat perihal pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Peradaban Islam klasik dipenuhi dengan khazanah ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan teknologi. Banyak ilmuwan Muslim dikenang sampai hari ini karena kontribusinya pada ilmu pengetahuan. Kita mengenal Al-Farabi sebagai Bapak Logika, Ibnu Sina sebagai Bapak Kedokteran, Al-Khawarizmi sebagai Bapak Aljabar dan penemu sistem penomoran, Ibnu Haitham sebagai Bapak Optik, dan lain sebagainya.
Ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan oleh ilmuwan muslim tersebut menjadi fondasi kemajuan dunia modern. Hal ini karena ketika Eropa sedang diterpa kegelapan (Dark Age) pada Abad Pertengahan, dunia Islam sedang bersinar dalam zaman keemasan berkat ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Cak Nur, “pengaruh ilmu-pengetahuan Islam kepada ilmu pengetahuan modern sama sekali tidak dapat diremehkan,”[2] dan pengaruh ini terjadi di hampir semua bidang. Cak Nur mengutip pernyataan Peter Davies (Succes with Words, 1983) bahwa:
“Peradaban Arab telah memberi kontribusi yang mendalam kepada peradaban Eropa, dan kenyataan ini dengan amat jelas dicerminkan dalam banyak kata-kata penting yang kita pinjam dari bahasa Arab. Kebanyakan tidak datang langsung ke bahasa Inggris tetapi dipinjam melalui bahasa-bahasa Turki, Itali, Spanyol, dan Prancis. Dalam seleksi di bawah, perhatikanlah betapa banyaknya kata-kata yang berhubungan dengan sains dan teknologi, produk-produk dan obyek-obyek canggih, serta berbagai kenyamanan hidup berperadaban.”
Kata-kata tersebut meliputi antara lain (dengan menyebut beberapa saja) alchemy, alcohol, algebra, alkali, azimuth, azure, calibre, carat, coffee, cotton, jar, magazine, sofa, tariff, zenith, zero, dan lain sebagainya.
Berkat interaksi dengan dunia Islam, Eropa mulai menjajaki ilmu pengetahuan secara serius, yang kemudian melahirkan Renaissance, suatu era transisi Eropa menuju dunia modern yang puncaknya terjadi pada abad ke-17 dan ke-18 dengan ditandai lahirnya Abad Pencerahan (Enlightenment) di mana iman (agama Kristen) dan ilmu dipisah secara tegas.
Apa yang menyebabkan dunia peradaban Islam klasik sangat terdepan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan Islam hari ini –bisa dibilang— lesu dari hingar bingar pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi? Cak Nur memiliki analisa yang bisa kita jadikan rujukan untuk pengembangan ilmu dan teknologi di dunia Islam.
Keterbukaan dan Interaksi
Menurut Cak Nur, peradaban Islam klasik dibangun di atas fondasi keterbukaan. Semangat keterbukaan inilah yang membuat dunia Islam berinteraksi dengan keberagaman, termasuk kemungkinan untuk saling tukar ilmu pengetahuan dan teknologi. Kata Cak Nur, “semangat keterbukaan ini adalah wujud nyata rasa keadilan yang diemban umat Islam sebagai “umat penengah” (ummah wasath).”[3]
Meskipun hadir sebagai ‘agama terbuka’, Islam tetap memiliki nilai-nilai permanen, sisi-sisi yang tidak bisa diubah yang dalam istilah Cak Nur disebut ‘parametris’. Di sinilah pentingnya keimanan sebagai sisi yang tidak bisa diubah, yang menjadi landasan semangat keterbukaan tersebut.
Dalam istilah Cak Nur, semangat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam Islam merupakan “kesatuan organik dalam sistem ajaran Islam antara religiusitas dan rasionalitas.”
Landasan keimanan inilah yang membedakan Islam dengan dunia Barat modern dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi; semangat mengembangkan ilmu pengetahuan merupakan dorongan keimanan dan keagamaan, bukan atas dasar keterpisahan antara iman dan ilmu sebagaimana yang dilakukan oleh dunia Barat modern. Dalam istilah Cak Nur, semangat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam Islam merupakan “kesatuan organik dalam sistem ajaran Islam antara religiusitas dan rasionalitas.”[4]
Dengan semangat keterbukaan tersebut, dunia Islam klasik berinteraksi dengan kebudayaan-kebudayaan asing lain. Artinya, secara apriori, tidak anti-pati terhadap yang berbeda, yang asing dan hal-hal baru. Oleh karena itu, semangat keterbukaan ini harus digaungkan kembali apabila dunia Islam ingin terlibat dan berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, bukan malah bersikap parokialistik dan berpikiran sempit. Sikap parokialistik ini justru akan menghantarkan umat Islam pada penolakan terhadap “sesuatu yang tidak berasal dari kalangan mereka sendiri, atas dasar anggapan bahwa apa yang dari kalangan sendiri adalah yang paling benar, dan lainnya salah,”[5] dan sikap ini sangat kontra-produktif terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Membangun Etos Keilmuan
Apabila ingin terlibat dan berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, umat Islam harus membangun etos keilmuan –dengan istilah lain yang hampir sama: membangun etos kerja dan ekosistem ilmiah dalam Islam. Hal ini karena, menurut Cak Nur, dunia Islam saat ini sekadar mengadopsi dan mengimpor ilmu pengetahuan dan teknologi Barat berdasarkan atas pertimbangan praktis-pragmatis untuk kepentingan, misalnya, industrialisasi. Umat Islam hanya menjadi konsumen dan bahkan end user. Apabila tidak disertai dengan etos keilmuan yang kokoh, ke depannya umat Islam akan bergantung dengan umat yang lain.
Membangun etos keilmuan –dalam tulisan yang lain, Cak Nur menggunakan istilah etos intelektual— merupakan kerja bersama yang membutuhkan waktu yang tidak sebentar serta dilaksanakan secara berkelanjutan. Etos keilmuan ini dibangun di atas fondasi semangat keterbukaan –tidak didasarkan pada sikap anti-pati dan sinisme terlebih dahulu.
Sehingga, dengan etos keilmuan yang terbentuk, harapannya lahir ekosistem ilmiah di mana inisiatif inovatif, pikiran kritis dan kreatif tumbuh dan berkembang. Dalam hal ini, etos keilmuan tidak hanya dibentuk pada tataran individu –dan memang ini adalah sebuah keharusan— melainkan juga pada tataran kolektif. Hal ini karena kerja-kerja pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi senantiasa mengharuskan kerja-kerja kolektif dan kolaboratif. Apalagi, menurut Cak Nur, jika dimaknai secara lebih luas, berpikir kreatif dan proaktif sebetulnya bagian dari ijtihad.[6] Dengan demikian, membangun etos keilmuan merupakan bagian dari ijtihad untuk kemajuan peradaban Islam, terutama di sektor ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ilmu Pegetahuan, Teknologi dan Misi Kemanusiaan
Untuk kepentingan apa dunia Islam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi? Yang jelas, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak semata-mata untuk menjadi superior, gagah-gagahan, atas yang lain. Misi mulia dunia Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, menurut Cak Nur, adalah untuk mempertinggi harkat dan martabat kemanusiaan. Nilai-nilai kemanusiaan menjadi kompas moral dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan demikian, secara otomatis, ilmu pengetahuan dan teknologi dalam sudut pandang Islam tidak lah bebas nilai (non-value free); ia sarat akan nilai –keimanan sebagai fondasi dan kemanusiaan sebagai kompas moral. Hal ini karena teknologi sebagai produk ilmu pengetahuan kerap kali berdampak negatif terhadap manusia beserta kemanusiaannya (dehumanisasi).
Manusia mengalami alienasi berkat teknologi yang dibuatnya sendiri, karena ketika diluncurkan, teknologi memiliki logika dan cara kerjanya sendiri, yang dalam istilah Cak Nur disebut determinisme teknologi. Sebagai contoh, pada satu sisi kehadiran teknologi digital dengan pelbagai varian produknya seperti media sosial telah memudahkan manusia untuk berkomunikasi, mengakses informasi dan menyampaikan aspirasi. Namun, pada sisi lain media sosial menjadi ruang yang subur bagi ujaran kebencian, doxing, rasialisme, xenophobia, peretasan, dan kejahatan cyber lainnya. Padahal, ilmuwan yang membuatnya tidak mengharapkan adanya ekses negatif dari teknologi yang dibuatnya. Oleh karena itu, Cak Nur mengingatkan bahwa aspek kemanusiaan harus menjadi kenyataan yang lebih penting dan lebih menentukan daripada aspek teknikalisme dari teknologi.[7] Dalam konteks ini, nilai-nilai moral dan kemanusiaan menjadi sangat penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Misi mulia dunia Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, menurut Cak Nur, adalah untuk mempertinggi harkat dan martabat kemanusiaan.
Penutup
Kemunduran dunia Islam dalam aspek ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan sebuah kenyataan yang harus kita terima. Terlepas dari kelesuan ini, Cak Nur masih memiliki secercah optimisme bahwa suatu masa dunia Islam akan menjadi kekuatan penting dalam sektor ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena sebagai analisa terakhir, menurut Cak Nur, “kemunduran dunia Islam dapat dilihat sebagai wujud operasi sunnatullah, yang salah satu unsur penting hukum ini ialah adanya prinsip perputaran (mudāwalah).”[8] Lebih lanjut, Cak Nur menyampaikan optimismenya bahwa: “[…] perlu diingat bahwa masa keunggulan Islam di dunia di masa lalu masih jauh lebih panjang berlipat ganda (sekitar enam sampai delapan abad) daripada keunggulan Barat modern sekarang ini (baru sekitar dua abad, sejak Revolusi Industri).”[9]
Tentu, pesan optimisme Cak Nur tersebut tidak dijadikan apologi untuk menunggu takdir masa keemasan kembali ke dunia Islam. Kita harus menjemput optimisme Cak Nur tersebut dengan ikhtiar –dengan membangun keterbukaan, interaksi dan etos keilmuan dalam dunia Islam, sebagaimana firman Allah SWT: “[…] Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (QS Ar-Ra’d: 11).[]
[1] Lih. Nurcholis Madjid, “Peradaban Islam (III): Telaah atas Keadaan Iptek Islam Masa Kini” dalam Karya Lengkap Nurcholis Madjid [penyunting: Budhy Munawar-Rahman] (Jakarta: Nurcholish Madjid Society, 2019), hal. 2601.
[2] Lih. Nurcholis Madjid, “Iman dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauah Historis Singkat” dalam Karya Lengkap Nurcholis Madjid [penyunting: Budhy Munawar-Rahman] (Jakarta: Nurcholish Madjid Society, 2019), hal. 677.
[3] Lih. Ibid., hal. 664.
[4] Lih. Nurcholis Madjid, “Era Informasi: Kaitan antara Rasionalitas dan Religiusitas” dalam Karya Lengkap Nurcholis Madjid [penyunting: Budhy Munawar-Rahman] (Jakarta: Nurcholish Madjid Society, 2019), hal.2745.
[5] Lih. Nurcholis Madjid, “Peradaban Islam (III) …” Op.Cit., hal. 2604.
[6] Lih. Budhy Munawar-Rahman, Membaca Nurcholis Madjid: Islam dan Pluralisme (Jakarta: Democracy Project, 2011), hal. 222.
[7] Lih. Ibid. hal. 214.
[8] Lih. Nurcholis Madjid, “Peradaban Islam (III) …” Op.Cit., hal. 2609.
[9] Lih. Budhy Munawar-Rahman, Op.Cit., hal. 223.