Sudah setengah bulan kita berpuasa di tengah pandemi ini, dan kita mulai terbiasa –sebagai new normal— dengan beribadah di rumah dan menghindari kumpul-kumpul orang banyak, termasuk untuk keperluan ibadah. Tarawih di rumah. Begitu pula tadarus di rumah. Selama berpuasa di masa pandemi, kita jadikan rumah sebagai ‘pusat’ beribadah.
Kebiasaan yang ‘baru’ dalam beribadah ini adalah ikhtiar kita melawan Covid-19, memutus mata rantai penyebaran virus korona –dan ikhtiar ini bernilai ibadah juga. Sebagaimana telah menjadi pengetahuan publik, virus korona tidak mengenal ras, agama, dan suku bangsa manapun. Semua punya potensi untuk terjangkiti.
Tentunya, berpuasa di rumah tidak menghilangkan esensi puasa sebagai ibadah yang tidak hanya hablun minallah, tetapi juga hablun minannass; mengasah kepekaan sosial kita kepada sesama manusia. Apalagi di tengah semakin banyak orang terdampak pandemi Covid-19, solidaritas kemanusiaan harus semakin kita galakkan. Adanya kemajuan teknologi mempermudah kita melakukan solidaritas kemanusiaan dari rumah, misalnya dengan berdonasi untuk membantu orang-orang terdampak, menebar optimisme lewat media sosial, dan lain sebagainya.
Di masa pandemi ini, puasa adalah sumber inspirasi bagi kita untuk meningkatkan cakupan solidaritas yang tidak hanya terbatas pada solidaritas antar ummat dan bangsa, melainkan solidaritas antar manusia, solidaritas kemanusiaan.