Artikel ini tayang di republika.co.id pada 5 Februari 2022
Pada 5 Februari 2022 ini, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menapaki usia ke-75; usia yang terpaut tidak terlalu jauh dengan usia Republik Indonesia dan terbilang matang bagi ukuran organisasi kemahasiswaan. Di usianya yang ke tiga per empat abad ini, apa yang telah, sedang dan akan dilakukan HMI untuk mewarnai pembangunan bangsa? Di tengah disrupsi akibat penetrasi teknologi digital ke segala lini kehidupan, apakah organisasi kemahasiswaan seperti HMI masih relevan sebagai kawah inkubasi bagi talenta muda Indonesia masa depan?
Menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu melakukan otokritik sekaligus melihat kembali warisan HMI dalam konteks sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Lahir dari rahim ibu pertiwi pada 5 Februari 1947 di Yogyakarta dengan Lafran Pane sebagai pemrakarsanya, HMI telah meletakkan fondasi keislaman dan keindonesiaan tidak dalam oposisi biner, melainkan dalam posisi yang seimbang dan saling mendukung.
Komitmen keislaman dan keindonesiaan ini diwariskan dari generasi ke generasi, sehingga telah menjadi ortodoksi tersendiri di dalam tubuh himpunan. Dalam konteks sejarah perjalanan Indonesia sebagai nation-state, HMI telah mewakafkan dirinya sebagai perisai kebangsaan, yang diejawantahkan ke dalam pelbagai praktik, baik menjadi bagian dari kekuasaan maupun di luar kekuasaan. Praktik-praktik tersebut bertransformasi dari masa ke masa sesuai dengan konteks tantangan zaman.
Pada masa awal kemerdekaan, HMI terlibat dalam perlawanan bersenjata mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. HMI juga mengantarkan transisi dari Orde Lama ke Orde Baru dengan berseteru dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada masa Orde Baru, HMI melahirkan tokoh-tokoh penting negeri ini, yang sebagian menopang pemerintahan dan sebagian lainnya memilih jalur akademisi, ulama dan aktivisme. Ketika Orde Baru berada di ujung tanduk, HMI menjadi bagian dari gerakan masyarakat sipil yang mendesak demokrasi di Indonesia, sehingga melahirkan reformasi. Intelektualitas dan semangat zaman lah yang memungkinkan HMI senantiasa bertransformasi, sehingga HMI tidak sekadar hadir dalam setiap era, melainkan mewarnai zaman dengan daya kontributifnya.
Semangat zaman tersebut merupakan warisan sejarah yang membentuk HMI hari ini, karenanya harus terus dirawat, namun dengan kontekstualisasi yang tentu berbeda. Apalagi, kondisi saat ini dihadapkan dengan perubahan yang sangat pesat akibat penetrasi teknologi digital ke semua sektor kehidupan, di mana nilai-nilai baru telah menggantikan nilai-nilai lama. Sementara, sebagai organisasi kemahasiswaan, HMI tidak lepas dari kritik. Saat ini, HMI masih gugup beradaptasi dengan arus perubahan karena disibukkan dengan konflik internal yang kontraproduktif terhadap pembangunan organisasi, sehingga kita melewatkan banyak hal penting seperti akselarasi transformasi digital dan pembangunan ekonomi yang berkeadilan serta pembangunan sumber daya manusia bertalenta. Bisa dikatakan, HMI sedang berada dalam zaman digital, tetapi paradigma ke-HMI-an kita hari ini masih menggunakan corak pemikiran abad ke-20. Transformasi paradigma ini harus kita lakukan dengan dua hal, yakni reformasi organisasi dan kewirausahaan sosial (sociopreneurship) berbasis digital.
Reformasi Organisasi
Perubahan adalah sebuah keniscayaan, yang suka tidak suka dan mau tidak mau harus kita terima. Seorang filsuf Yunani Kuno, Herakleitos, mengemukakan bahwa segala sesuatu mengalir dan tidak ada sesuatu yang tetap (Panta rhei kai uden menei); bahwa yang permanen adalah perubahan itu sendiri. Di hadapan keniscayaan perubahan tersebut, tidak ada yang bisa kita lakukan selain adaptif untuk kemudian menciptakan bahkan membelokkan perubahan selanjutnya. Perubahan yang terjadi saat ini akibat penetrasi teknologi digital ke segala lini kehidupan mengharuskan HMI untuk melakukan reformasi organisasi. Jika tidak, HMI akan sekadar menjadi organisasi massa, bukan organisasi perkaderan.
Terdapat tiga aspek untuk mengejawantahkan reformasi organisasi tersebut, yaitu aspek sistem, struktur dan sumber daya manusia, di mana ketiganya saling menopang satu sama lain. Pertama, bangunan sistem HMI telah terbangun dalam waktu yang lama, mulai dari internalisasi nilai-nilai, rekrutmen anggota, perkaderan hingga sirkulasi kepemimpinan, sehingga membentuk pola pikir dan perilaku organisasi yang dilestarikan dari generasi ke generasi. Kondisi status quo ini menghadapi gejolak ketika teknologi digital ‘menguasai’ segala sektor kehidupan manusia, termasuk organisasi kemahasiswaan seperti HMI, apalagi pandemi Covid-19 menjadikan manusia semakin ketergantungan dengan teknologi digital.
Oleh karena itu, adalah sebuah keharusan bagi HMI untuk memanfaatkan teknologi digital agar kerja-kerja organisasi berjalan efektif dan efisien, seperti tata kelola organisasi berbasis digital, digital organizational branding, dan pembangunan sistem perkaderan digital serta dakwah inklusif di ruang digital. Kita harus mulai menginternalisasikan nilai-nilai dan skill baru yang diciptakan oleh teknologi digital ke dalam organisasi, sembari tetap merawat nilai-nilai lama yang konstruktif dan meninggalkan nilai-nilai lama yang kontraproduktif bagi pembangunan organisasi.
Kedua, dalam aspek struktural, HMI memiliki ‘birokrasi’ yang berjenjang, hirarkis, dan kerap kali kental nuansa politik, mulai dari level kampus, daerah hingga nasional. Tidak semua kader bisa tertampung dalam struktur tersebut. Untuk itu, ruang-ruang kaderisasi alternatif, dengan berlandaskan pada youth needs dan youth interests yang disesuaikan dengan kebutuhan era digital, perlu diciptakan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi digital karena revolusi industri 4.0 memberikan short cut bagi setiap orang untuk mengakselarasi skill demi mencapai suatu tujuan dengan melewati langkah-langkah konvensional.
Ketiga, pembangunan sumber daya manusia berkualitas yang merupakan ruh HMI sebagai organisasi perkaderan. HMI menggunakan istilah ‘insan’ untuk merujuk kualitas manusia yang dicita-citakan HMI, yaitu manusia yang beriman, berpengetahuan luas dan mampu melaksanakan tugas kemanusiaan. Nilai-nilai ini sangat penting di tengah kekeringan nilai akibat begitu dominannya teknologi. Secanggih apapun teknologi, ia hanyalah mesin yang kering akan nilai keimanan dan kemanusiaan. Teknologi merupakan tools untuk membantu kerja-kerja manusia, yang menurut Nurcholis Madjid (Cak Nur) diperuntukkan untuk mempertinggi derajat kemanusiaan. Untuk itu, membangun teknologi adalah membangun sumber daya insaninya karena, bagaimana pun juga, masa depan digital terletak pada manusia, the future of digital is human. Dalam konteks kebutuhan HMI saat ini, pembangunan sumber daya insani harus difokuskan pada sektor digital dan ekonomi melalui sociopreneurship. Karenanya, internalisasi skill yang dibutuhkan untuk pekerjaan di masa depan harus terintegrasi dengan sistem dan struktur yang dibangun HMI.
Cendekia yang Pengusaha, Pengusaha yang Cendekia
Ahmet T. Kuru dalam Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan (2020) mengemukakan bahwa faktor kemajuan ilmu pengetahuan dan sosioekonomi di dunia Islam pada abad ke-8 sampai abad ke-12 adalah karena kedekatan ulama (ilmuwan) dan para pedagang, di mana pengembangan ilmu pengetahuan didanai oleh perniagaan sehingga menjamin independensi para ilmuwan dalam berpikir, berinovasi dan berkreativitas. Pola relasi dan ekosistem seperti ini yang seharusnya dibangun kembali oleh HMI untuk mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan sosioekonomi di Indonesia dan dunia Islam, dengan tetap merawat intelektualitas HMI sebagai komunitas epistemik dan mengembangkan socioprenenurship yang tidak hanya berorientasi keuntungan ekonomi, tetapi juga berdampak sosial. Sehingga, harapannya, HMI menjadi kawah inkubasi yang akan melahirkan cendekia yang pengusaha dan pengusaha yang cendekia, yang memiliki komitmen untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan sosioekonomi. Dengan demikian, arah baru HMI didasarkan pada komitmen untuk melakukan reformasi organisasi dan menerapkan program kewirausahaan sosial berbasis digital tersebut, Hal ini harus dimulai dengan perubahan paradigma yang adaptif terhadap perubahan, karena sekecil apapun perubahan yang kita buat untuk organisasi, masyarakat dan negara akan berdampak pada perubahan-perubahan yang lain,